.

Sistem Informasi Gampong dan Kawasan dengan mana asli SIDeKA yang merupakan singkatan dari Sistem Informasi Desa dan Kawasan, sideka merupakan sebuah program yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk tata kelola informasi dan tata kelola sumberdaya gampong  dan kawasan, sedeka sendiri dikembangkan oleh BP2DK (Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan)

Sistem Informasi Gampong dan Kawasan Krueng Meuriam Tangse
Sistem Informasi Gampong dan Kawasan Krueng Meuriam Tangse

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari jajaran pulau-pulau dimana Desa, Nagari, Gampong dan Kampung atau sebutan yang lainnya ada didalamnya sebagai pusat pemerintahan yang paling bawah. Keberagaman juga menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia, termasuk didalamnya keberagaman gampong dengan segala potensinya, tentunya sideka dan fiturnya juga harus diseragamkan dengan sebutan pemerintahan yang paling bawah di daerah masing-masing dalam arti menghormati kearifan lokal/ keberagaman, maka dengan demikian untuk Aceh SIDeKA menjadi SIGaMKA yang artinya Sistem Informasi Gampong dan Kawasan.

Yang mana selama ini, sistem informasi gampong dalam kontek pemanfaatan TIK sebelumnya jarang digunakan dalam skala gampong, sehingga diharapkan persoalan yang selama ini selalu muncul tiap kali ada program pemerintah bisa teratasi. 

Masalah yang paling krusial adalah data penduduk dan data kemiskinan yang tidak akurat sehingga menyebabkan program pemerintah tidak tepat sasaran. Secara singkat beberapa manfaat Sigamka sebagai “cara baru” dalam membangun gampong antara lain:

  1. Keterbukaan informasi pemerintah  gampong melalui website desa bisa memunculkan kepercayaan masyarakat, sehingga masyarakat bersedia terlibat lebih banyak dalam proses perencanaan dan pembangunan gampong. Kunci pembangunan gampong adalah keterlibatan masyarakat.
  2. Mengabarkan gampong melalui media internet bisa memunculkan potensi yang selam ini tidak tergali, bahkan bisa memunculkan kepedulian warga gampong yang tinggal di luar kota atau luar negeri atas persoalan gampong yang ada.
  3. Data base penduduk yang akurat, baik terkait data pilah, survey kemiskinan skala gampong, dan kejelasan peta gampong, sumberdaya gampong bisa sebagai bahan perencanaan pembangunan yang tepat. Dengan syarat Negara sebagai bagian supra gampong menerima data gampong tersebut.
  4. Sigamka adalah “cara gampong’ menjawab amanat undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
  5. Sigamka harus mampu mensinkronisasi program dan data ditingkat gampong sampai pusat, disitulah kehadiran “Negara” berperan. Data dasar yang ada dipusat semestinya mengacu kepada data dan program yang ada di gampong, dengan syarat data di gampong sudah akurat.


Dalam penerapan program sigamka terdapat tujuh harapan dari program  tersebut, antara lain :

  1. Gampong-gampong harus terdaftar dalam website yang menggunakan domain DESA.ID sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Repulik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 atau Gampong bisa juga mendaftar website dengan menggunakan domain GAMPONG.ID sesuai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 dan  Qanun Gampong Provinsi Aceh Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pemerintahan Gampong.
  2. Update data based gampong, profil gampong seperti : (data dasar kependudukan, informasi buruh migran, informasi kepala keluarga perempuan, informasi ibu hamil (normal dan risiko tinggi), infomasi bayi dan balita (gizi kurang dan buruk), informasi angka putus sekolah (tingkatan dan sebab), data kemiskinan lokal, informasi penerima raskin, informasi penerima BSM, informasi penerima BLSM, informasi penerima JKN, informasi penerima PKH, program perlindungan sosial daerah, data mitigasi bencana, informasi dinding rumah, informasi atap rumah, dan informasi lantai rumah.
  3. Update data pembangunan gampong (RPJMG dan RKPG).
  4. Update data berkaitan dengan pemerintah gampong seperti: penataan gampong, penyelenggaraan administrasi pemerintahan gampong,pengelolaan keuangan dan asset gampong, produk hukum gampong (qanun gampong), perangkat gampong, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan gampong, kerjasama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan gampong;
  5. Update pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi gampong, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepa guna, dan pembangunan sarana prasarana gampong, serta kegiatan pemberdayaan masyarakat gampong;
  6. Update gampong dalam keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan gampong (dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, monitoring, dan pelestarian);
  7. Update kabar berita gampong dengan tulisan (gampong dalam kabar berita) yang mendorong adanya rakyat gampong bangga menyuarakan tentang gampong.


Buat  seluruh stakeholder yang terdiri dari aparat pemerintah Kabupaten hingga aparatur  gampong se Kabupaten Pidie, kami relawan TIK Pidie yang merupakan perkumpulan anak-anak muda gampong sebagai perkumpulan pegiat dan komunitas pengguna, pengembang dan pemanfaat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam Kabupaten Pidie, yang ingin memajukan gampong – gampong di Kabupaten Pidie lewat pemanfaatan TIK  yang berada di Kabupaten Pidie.

Kami Relawan TIK Pidie  siap berkerja sama untuk pengembangan sistem informasi gampong yaitu dengan membangun profil gampong atau website gampong dengan domain DESA.ID atau GAMPONG.ID plus pemasangan aplikasi Sistem Informasi Gampong dan Kawasan. Serius dan peduli akan kemajuan IT untuk pelayanan di gampongnya, kami membuka kesempatan, silahkan kontak kami di www.rtikpidie.or.id/p/kontak.html atau via email rtikpidie@gmail.com.

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru pada pembangunan di tingkat Desa atu Desa. UU Desa memberikan ruang bagi Desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan Desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Sistem Informasi Gampong Cot Baroh
Sistem Informasi Gampong Cot Baroh


Pengakuan Atas Desa

Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:

  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;
  8. Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;
  9. Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.


Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas  memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal  berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa
UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa.  UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa
Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.

Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya,  desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.

Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa
Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara lain:

  1. Sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
  2. Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
  3. Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.
  4. Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
  5. Penerapan Sistem Informasi Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
  6. Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
  7. Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.

 sekolahdesa.or.id 

RTIK Pidie

{picture#https://4.bp.blogspot.com/-xnDCl_Y5ff8/VsXl9b7QZ1I/AAAAAAAAAnc/yIU7pF5dom0/s320/Logo%2BRTIK%2BPidie.png} Relawan TIK Pidie (Pengurus Daerah - Relawan TIK Indonesia) merupakan bagian dari Relawan TIK Indonesia dengan misi pengembangan pengetahuan dan pendampingan pemanfaatan Teknologi Komunikasi bagi masyarakat Pidie. {facebook#https://www.facebook.com/rtikpidie} {twitter#https://twitter.com/rtikpidie} {google#https://plus.google.com/+RtikpidieBlogspotIdPidie/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCK9aWVeJgR4LnAp7wILQbiA}